KISAH RITNO di SIA 2017, Si TRANSFORMER PEMBALAK LIAR
Meski ini lagu cinta, tapi terngiang–ngiang di telinga saat aku membaca kisah Ritno, transformer pembalak liar.
Ritno Kurniawan, Transformer Pembalak Liar
Ritno Kurniawan, pemuda 31 tahun yang akhirnya memilih pulang ke kampung halaman setelah berkelana dan menyelesaikan studinya di Universitas Gajah Mada, seakan potret bahwa dia kembali pulang dan ingin mengabdi ke tanah kelahiran terlihat bagaikan bangau yang pasti pulang ke kubangan, meski ia sudah jauh terbang. Bisa saja banyak kesempatan atau rumah yang lebih indah di luar sana, tapi dia pulang meski tanah kelahiran hmmm agak sedikit miris ya keadaannya.
Maraknya pembalak liar sudah pasti meresahkan sekali. Alam tak terjaga, bencana bisa datang tiba-tiba. Barangkali kepedulian ini tidak hanya sebagai pemuda yang harus bisa membawa perubahan tapi juga sejalan dengan latar belakang keilmuwannya, sebagai lulusan fakultas pertanian. Ritno ingin pembalak dihentikan, namun ia tidak menutup mata, apa yang sebenarnya dibutuhkan pelaku pembalakan liar ini.
Jawabannya, apalagi kalau bukan penghasilan, dalam arti kata lain jika pembalakan dihentikan harus ada lapangan pekerjaan baru untuk para pembalak liar ini.
Menyadari hal itu, pria 31 tahun ini mengubah para pembalak liar ini menjadi pemandu wisata di Kawasan Ekowisata Nyarai, Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat ini. Wisata nyarai memang adalah salah satu air terjun yang tergolong indah di sekitar Hutan Gamaran yang sebelumnya digunduli para pembalak liar. Sedikitnya ada 20 balok kayu yang dihanyutkan di sungai setiap harinya. Inilah yang membuat Ritno, memilih mengajak warga sekitar untuk memanfaatkan keindahan air terjun nyarai, disbanding harus merusak Hutan Gamaran.
Perjalanan Ritno Kurniawan, Transformer Pembalak Liar
Ritno memulai aksinya dengan membentuk Pokdarwis (kelompok sadar wisata) Lubuk Alung Adventure. Perjalanan Ritno tidak mudah, awalnya aksi ini yang berujung permintaannya kepada warga untuk berhenti menjadi pembalak liar dicurigai. Kecurigaan bisa jadi juga dipengaruhi karena ketakukan kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Wajar saja, karena dengan menjadi pembalak liar mereka akan memperoleh penghasilan 150 ribu rupiah per minggu. Tak menyerah, ritno berusaha meyakinkan bahwa dengan menjadi bagian dari kelompok sadar wisata ini, warga akan mendapat penghasilan lebih besar dari yang diperoleh hari ini.
Kelompok Sadar Wisata Lubuk Alung Adventure
Kelompok sadar wisata yang dikelola ritno berkembang baik. Tahun 2013 saat dimulainya aksi ini, ritno memimpin 170 orang pemandu. Pengunjung wisata Nyarai memang sangat ramai. Dalam sebulan, rata-rata ada 1500 – 2000 wisatawan berkunjung. Jadi butuh banyak pemandu untuk bisa menemani ribuan pengunjung ini. Janji ritno untuk warga pun tidak hanya sekedar omong kosong. Pemandu punya penghasilan lebih dibanding menjadi pembalak liar. Penghasilan harian pemandu bisa 50 hingga 80 ribu rupiah setiap harinya.
Ritno, salah satu Penerima Apresiasi SATU Indonesia Award 2017
Hutan aman, lingkungan terjaga, pendapatan dan ekonomi Lubuk Alung pun berkembang. Perubahan yang signifikan yang dilakukan ritno pantas diberi penghargaan.
2017 ia berhasil menjadi salah satu penerima apresiasi SATU Indonesia Award. Penghargaan SATU Indonesia adalah sebuah ajang kompetisi yang hasil akhirnya berupa penghargaan untuk pemuda yang dinilai telah memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Ritno pantas mendapatkan penghargaan ini.
Semoga kisahnya selalu menginspirasi dan membuat kita semangat untuk melakukan sesuatu perubahan untuk sekitar, sehingga bisa muncul sosok seperti Ritno yang bisa membawa perubahan setidaknya dimulai untuk tanah kelahiran sendiri.
***