Mengenal Suku Baduy dan 3 Alasan (Kembali) Ke Kanekes

Jauh dari kata mewah, jangkauan teknologi, pengaruh luar daerah dan apa lagi ya? Suasana di tempat ini berbanding terbalik sekali dengan kehidupan Jakarta dengan segala hiruk pikuknya. Sekalinya trip, aku segera ingin mengenal suku Baduy dan 3 alasan kembali ke kanekes.

Kanekes adalah desa yang berada di kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini terletak 38 km dari Rangkasbitung. Desa inilah yang menjadi mukim suku baduy yang sering menyebut dirinya dengan sebutan urang kanekes.

Perjalanan Bertemu Suku Baduy

Untuk bisa berkunjung ke Kanekes, aku mengikuti trip dari komunitas Backpacker Jakarta. Perjalanan dimulai dengan naik kereta listrik menuju Stasiun Rangkas Bitung. Karena aku tinggal di daerah Jakarta Timur, maka aku harus naik KRL rute Bekasi – Manggarai dengan waktu tempuh 35 Menit, dilanjutkan menuju Tanah Abang 15 menit saja. Tanah Abang dilanjutkan menuju St. Rangkas Bitung dengan waktu tempuh lebih kurang 2 jam perjalanan. Disini aku bertemu dengan teman-teman yang akan mengikuti perjalanan bersama.

Setelah berkumpul dengan peserta trip, perjalanan dilanjutkan dengan naik bus yang kami sewa untuk sampai di tujuan. Waktu tempuh untuk sampai ke Desa Kanekes harus kami tempuh selama lebih kurang 2 jam perjalanan.

3 Alasan Kembali ke Kanekes

Jembatan Bambu yang Instagramable

Hari pertama perjalanan, saya dan teman-teman berkunjung  ke Jembatan Bambu yang menarik sekali untuk feeds Instagram kamu. Jembatan ini berada di Kampung Gajeboh, dibuat oleh masyarakat Baduy secara bergotong royong dan digunakan para penduduk untuk menyebrangi sungai untuk pergi ke ladang dan menuju kampong seberang.

Suasana menyejukkan mata dari spot ini membuat aku ingin kembali berkunjung. Setidaknya menghirup udara segar di daerah yang masih hijau.

Main ke Sungai

Alasan aku ingin kembali, aku lupa deh foto di sungai ini. Padahal kalau aku fikir-fikir ini cukup bagus untuk dijadikan sport foto. Aliran sungai yang cukup lebar, sering digunakan untuk mencuci dan membersihkan diri bagi penduduk setempat. Tapi disini, tetap disarankan untuk tidak menggunakan sabun, shampoo dan pasta gigi saat mandi mengingat airnya juga digunakan untuk sehari-hari. Menuju ke lokasi ini buat aku peer  ya. Aku harus jatuh, kepleset, bangun dan kepleset lagi. Makanya mood untuk foto jadi ilang.

Rumah Penduduk Suku Baduy Sederhana, Kisah yang mempesona

Ada suasana yang membuat aku jatuh cinta. Jika di Jakarta, aku keluar pagi hari pukul 8 pagi saja itu sudah macet. Lebih pagi lagi? Sudah banyak yang berkeliaran. Mungkin mereka yang memang akan berangkat bekerja atau pulang dari mencari nafkah. Iya, seperti itulah potret Jakarta.

Pagi disini justru sepi, sunyi dan tenang. Aku bingung sendiri memikirkan kapan ramainya jalanan ini. Tapi ternyata di jam 8 pagi ini pun sebenarnya mereka tidak tidur. Namun juga sudah melangkah mencari nafkah. Sama halnya dengan Jakarta. Tapi udara sesejuk ini mungkin bisa ku pastikan tidak ada di Jakarta. Ah jadi lupa, saat ini aku berada di kaki pengunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.

Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 mdpl tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C. kondisi yang begini memang mendukung sekali bagi mereka untuk mencari nafkah dari bertani.

Cerita Singkat Suku Baduy/ Urang Kanekes

Sejak lama, tempat ini dikenal dengan pemukinan Urang Baduy, atau yang lebih senang mereka sebut dengan Urang Kanekes. Penduduk dengan kelompok masyarakat adat sub-etnis sunda. Kelompok ini menutup diri dari pengaruh dunia luar. Seperti pengaruh teknologi ataupun gaya hidup. Memiliki populasi hingga 8000 orang saat ini, mereka terbagi dalam dua wilayah, Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kedua wilayah memiliki perbedaan dari aturannya.

Ini disampaikan oleh kang Mul, yang menjadi guide kami untuk berkunjung ke desa ini. ketika kang Mul bercerita aku sudah berimajinasi sendiri tentang suasana keseharian suku baduy di pemukiman ini. Menurut saya sih, mengagumkan. Bertahan dengan aturan yang mereka miliki dibalik banyaknya pengaruh luar. Mereka tak ikutan ingin berpenampilan glamour, punya tas ber-merk, make up berlebihan atau tampilan apalah yang ada disekitar kita saat ini. Meski sedikit banyak mereka sudah mengenal cara hidup orang luar wilayah mereka.

Mereka juga seperti tak ingin untuk tau seperti apa lagu hiphop, terlihat keren dengan lagu berbahasa inggris atau terlihat menarik dengan gaya kebarat-baratan yang ada. Mereka nyaman dengan menggunakan bahasa sunda, namun mereka tetap lancar berbahasa indonesia dengan kita yang berasal dari luar lingkungan mereka.

Awalnya sempat ngomel bertanya-tanya dalam hati, kok mau mereka setia dengan aturan mereka yang sepertinya membuat mereka tak berkembang. Bagaimana tidak? Orang kanekes tidak diperboleh kan menempuh sekolah, pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Hmm ini membuat aku semakin penasaran lebih jauh tentang adat ini, tapi waktu nya belum tepat sepertinya. Tapi ya aturan ini membuat urang kanekes tidak mengenal budaya tulis. Alhasil adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Ini khusus untuk urang baduy dalam yang sangat sangat tertutup dari pengaruh luar. Hanya sedikit berbeda dengan Urang Baduy Luar, mengenal tulis menulis, mengenal dunia luar seperlunya meski tak menempuh sekolah formal. Yang sama diantara mereka tetaplah kepercayaan.

Ini menarik,

Mereka mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan,  ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam. Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Walaupun ini nyatanya adalah turun temurun, namun dalam perkembangannya tetap dipengaruhi oleh ajaran Hindu, Budha dan bahkan Islam.

Contohnya saja dalam peribadatan, mereka juga berpuasa tetapi tidak selama satu bulan dalam setahun. Akan tetapi, 3 bulan dalam setahun setiap tanggal 17. Pada saat itu, mereka wajib untuk berbuka bersama dengan pimpinan mereka. Urang baduy luar diwajibkan untuk datang ke area baduy dalam untuk bersantap bersama lalu kembali ke rumah masing-masing. Ya karena jika menginap mereka akan melanggar aturan. Selama bulan puasanya, urang baduy tidak diperbolehkan ada hubungan antara urang baduy dengan orang luar kanekes.

Terlintas pertanyaan diantara kami malam itu, lalu apa benar-benar urang baduy percayai? Jawabannya, Urang Baduy percaya kepada Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima dan hanya Pu’un atau ketua adat tertinggi beserta beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut.

Kalau untuk lebih mengenal seperti apa mereka saya bingung akan menuliskan nya. Aku cukup tau, mereka seperti punya dunia sendiri. Mereka hidup dengan cara yang berbeda, mempunyai kegiatan berbeda dengan orang luar daerahnya, tujuan hidup yang berbeda,  selera seni yang berbeda. Mereka punya musik sendiri, tari sendiri dan kebahagian sendiri. Laaah laaah saya seperti curhat yaa, iyaa. Kebahagian mereka sepertinya memang sederhana dan itu luar biasa.

Ini sedikit cerita tentang Urang Kanekes/Urang Baduy. Masih ingin cerita banyaaaaak tapi nanti aku malah tak punya teman untuk kembali. #eh

Aku akhiri tulisan ini. Jika ada cerita lebih lanjut, kita akan kembali bercerita. Aku terbuka untuk pembaca yang mungkin lebih banyak tau.  

Yuuuk berkunjung (lagi) ke Suku Baduy

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!